ISTIHSAN
(الاستحسان)
A.Pengertian
1.Menurut
bahasa: Menganggap baik atau mencari yang baik.
2.Menurut ulama ushul fiqih: meninggalkan hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan
dalil syara’ menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu
juga, karena ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya, dalil
yang terakhir disebut istihsan[1].
3. lebih
singkatnya: tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan
ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
4.”mula-mula
peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum atau peristiwa dari kejadian yang telah
ditetapkan itu,pindah kepada hukum yang lain, sekalipun dalil yang pertama
dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu[2].
B. Perbedaan
Dasar Hukum Istihsan
1. Mazhab
Hanafi berpegang kepada dalil istihsan menurut mereka istihsan semacam qiyas ,
yaitu memenangkan qiyas khafi dari qiyas jali atau mengubah hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya. Disamping mazhab hanafi ada golongan lain yang menggunakan
istihsan yaitu sebagian mazhab maliki
dan sebagian mazhab hambali.
2. Mazhab
syafi’i tidak menjadikan istihsan sebagai dasar hujjah. Imam syafi’i berkata:
“siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum
syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya , sedangkan yang berhak menetapkan
hukum syara’ adalah allah SWT.
Dalam buku Risalah
ushuliyah karangan imam syafi,i: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan
adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap kesuatu arah yang menurut istilah bahwa arah itu adalah
arah ka’bah. Tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan
arah ka’bah itu.
B. Macam macam
istihsan
1.pindah dari
qiyas jali kepada qiyas khufi, karena
ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2.pindah dari
hukum kulli kepada hukum juz’I, karena ada dalil yang mengharuskannya.
Contoh:
Menurut Mazhab
Hambali apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian maka dengan
mengunakan istihsan, yang termasuk diwakafkan adalah hak pengairan, hak membuat
saluran air, dsb. Menurut qiyas jali hak tersebut tidak mungkin diperpoleh
karena tidak boleh meng qiyas kan wakaf itu dengan jual beli, dalam jual beli
yang terpenting adalah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli, apabila
wakaf itu di qiyaskan dengan jual beli maka yang terpenting adalah hak milik
itu.
Menurut Mazhab
Hanafi sisa minuman burung buas , seperti burung gagak, burung elang, dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditentukan dengan istihsan .
padahal seharusnya menurut qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti
anjing, harimau, singa, dan burung burung buas haram diminum karena sisa
minuman yang telah tercampur dengan air liur binatang itu di qiyaskan dengan
dagingnya. Meurut qiyas khafi burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut
binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan,
sedangkan mulut binatang buas merupakan paruh yang terdiri dari tulang atau zat
tanduk yang tidak najis. Oleh karena itu , sisa minuman burung burung buas itu
tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan.
Dari segi
sandarannya istihsan terbagi menjadi 4 yaitu
a.istihsan
dengan sandaran qiyas khafi.
b.istihsan
dengan sandaran nash.
c.istihsan
dengan sandaran ‘urf.
d.istihsan
dengan sandaran keadaan darurat.
D.kedudukan
istihsan sebagai sumber hukum islam
1.jumhur ulama
menolak berhujjah dengan istihsan karena berhujjah dengan istihsan berarti
menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2.para pengikut
mazhab hanafi membolehkan berhujjah dengan istihsan, menurut mereka berhujjah
dengan istihsan hanya berdalilkan qiyas khafi yang dikuatkan dengan qiyas
jali atau menguatkan qiyas satu dengan
qiyas yang lain yang bertentangan dengannya , berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu atau berdalilkan
maslahatuntuk mengecualikan dari hukum kulli.
Tulisan ini
bersumber dari buku:
1. Buku Ushul
Fiqih karangan Drs. H. Kamal Muchtar, PT. Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,
2.Memahami Fiqih ditulis oleh Suratno dan Anang Zamroni, PT. Tiga
serangkai Mandiri, 2013
[1]
Drs. H. Kamal Muchtar, Ushul Fiqih , PT. Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,
hal. 139.
[2]
Drs. H. Kamal Muchtar, Ushul Fiqih , PT. Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,
hal. 139.